Setelah enam tahun, akhirnya aku dapat melepas rindu mendaki gunung Ciremai. Meregangkan otot-otot kaki yang kaku. Menikmati udara hutan yang menyegarkan. Dan, inilah cerita pendakian ke-3 ke gunung tertinggi di Jawa Barat.
Daftar isi
Memutuskan Mendaki Gunung Ciremai Setelah Bertahun-Tahun Hiatus
Malam itu, tepatnya tanggal 3 September saat aku tengah asyik melakukan aktivitas rutin yaitu menulis satu pesan masuk ke WA. Seorang teman menanyakan apakah suami bersedia mengantar anak-anak CJA (Cikarang Japan Alliance) ke Kuningan karena rencananya akan muncak ke Ciremai.
Membaca kata Ciremai, ingatanku langsung melayang pada pendakian pertama dan kedua beberapa tahun yang lalu ke gunung yang berada di Kab. Kuningan tersebut. Bisa dibilang Gunung Ciremai adalah pendakian terakhir hingga akhirnya aku hijrah ke kota industri.
Rindu? Tentu saja! Berpetualang di hutan selalu aku rindukan. Bahkan aku masih menyimpan mimpi untuk mengajak Si Bule mendaki gunung-gunung yang ada di Indonesia. Sebuah mimpi dan harapan yang tengah aku perjuangkan.
Btw, bahas soal pesan tersebut. Si Aa tidak bisa ke Kuningan karena dia ada liputan. Padahal aku berharap suami gak ada dinas di luar. Akan tetapi, apalah kata mengajak suami ke luar kota itu memang gak bisa dadakan.
Esoknya, ketika baca status facebook salah satu anak CJA yang akan muncak menawarkan barangkali ada yang ingin bergabung seketika jiwa ngebolangku membuncah. “Aku harus ikut, nih” Pikirku kala itu. Walau sedikit khawatir karena 6 tahun aku tidak melakukan aktivitas berat. Jangankan mendaki, lari pagi tiap minggu saja malas sekali. Terlebih di masa Pandemi Covid-19 ini banyak magernya. Ada yang samaan gak nih, Sahabat Senja?
Antara pengin ikut, namun banyak pertimbangan aku didera galau yang luar biasa. Hingga pada akhirnya H-2 memutuskan ikut. Dan, pusinglah aku karena belum persiapan alat yang harus dibawa. Untung saja ada barang yang bisa aku sewa seperti sleeping bag dan tas gunung.
Jalur Pendakian Gunung Ciremai Via Palutungan
Salah satu alasanku ikut mendaki ke Gunung Ciremai karena jalur yang anak-anak CJA ambil adalah jalur via Palutunga. Jalur ini terkenal dengan track yang banyak landainya dibandingkan jalur lain seperti via Apuy dan Linggarjati. Walau begitu, tidak semudah yang dipikirkan Sahabat Senja.
Dari Cikarang kami berangkat tengah malam dan tiba di Palutungan subuh. Saat itu di warung dekat pos pendaftaran sudah ada beberapa pendaki yang tengah rehat. Lalu, kami sepakat memesan mie instan karena cuaca dingin mulai menyelimuti tubuh. Sambil menunggu mie matang aku dan beberapa kawan CJA pergi ke Masjid untuk shalat subuh.
Waktu terus berjalan dan langit malam perlahan mulai terang. Walau begitu, cuaca dingin tak kunjung lesap. Akan tetapi, aku dan teman yang lain menikmati pelukan dinginnya Gunung Ciremai karena terasa sejuk dan membuat kepala fresh. Bisa jadi karena sudah terbiasa tinggal di tempat panas, ketika menginjakan kaki di tempat yang sejuk begitu terasa segarnya.
Cek Barang Bawaan Dan Kesehatan
Setelah lama menanti pos pendaftaran akhirnya dibuka. Semakin siang gerombolan para pendaki bermunculan dari berbagai kalangan. Sejujurnya aku kaget juga karena banyaknya yang mendaki padahal masih Pandemi Covid-19. Sepertinya memang semua orang sudah bosan di rumah.
Sebelum diijinkan mendaki, kami dikumpulkan di lapangan yang cukup luas untuk pemeriksaan barang-barang yang dibawa. Semua barang bawaan di cek satu persatu. Setelah pemeriksaan barang bawaan lanjut ke pemeriksaan kesehataan yaitu tensi darah.
Jika hasil tensi darah tinggi maka harus istirahat dulu hingga tensi darah normal. Kalau masih tinggi tidak diijinkan naik. Seperti yang terjadi pada salah satu temanku yang karena entah apa penyebabnya hasil tensi darahnya tinggi. Alhasil kami tidak langsung diijinkan naik.
Perjalanan Mendaki Gunung Ciremai
Setelah istirahat hampir satu jam, akhirnya kami bisa melanjutkan perjalanan mendaki gunung ciremai.
So, inilah perjalanan sesungguhnya dimulai.
Perjalanan Menuju Base Camp
Kami memulai pendakian dengan diiringi doa. Perjalanan dari Pos Pendaftaran langsung disuguhkan track yang menanjak melewati perkebunan penduduk. Itu pun tidak langsung ke Pos 1 Cigowong, melainkan kami harus berjalan menuju Base Camp terlebih dahulu.
Di mana ada pemeriksaan lagi oleh Ranger yang bertugas. Tenang tidak bongkar carriel, ko. Cek absen dan dikasih wejangan saat mendaki. Seperti ketua grup harus di depan, naik berlima turun juga berlima dan stop mendaki kalau cuaca buruk.
Dari Base Camp pendakian berlanjut ke Pos 1 yang lumayan makan waktu sekitar dua jam.
Istirahat di Pos 1 Cigowong
Dua jam mendaki mungkin terkesan lama. Akan tetapi, semenjak kaki melangkah di track yang menanjak, lalu bertemu track yang landai rasa lelah lesap begitu saja setelah tiba di Pos Cigowong.
Para pendaki pasti berhenti di Pos Cigowong untuk mengambil air karena setelah pos 1 ini tidak ada lagi air cadangan hingga ke puncak. Sehingga perbekalan air untuk minum maupun masak harus pendaki bawa dari Pos 1. Di sini juga tersedia mushola, lho.
Setelah cukup lama kami beristirahat, pendakian kembali berlanjut. Dari Pos Cigowong track landai mulai sedikit ditemui. Dengan beban berat karena membawa persediaan air, perjalanan menjadi lebih berat. Walau begitu, tetap kami menikmati perjalanan sambil mengamati setiap dauh dan pepohonan di kiri-kanan serta bersenda gurau selama perjalanan.
Kami juga mengajak pendaki lain mengobrol ketika beristirahat sejenak, memulihkan kaki yang kelelahano
Mengisi Perut di Pos Paguyangan Badak
Waktu terus berjalan, dan langkah kaki yang semakin berat terus berlanjut. Melewati Pos 2 Kuta dan kami kembali istirahat cukup lama di Pos 3 Paguyangan Badak.
Di sini kami memutuskan masak sebentar, karena perut sudah keroncongan. Cacing-cacing diperut sudah tidak sabar untuk segera diberi makan.
Maklum saja, semenjak mendaki perut hanya di isi mie instan dan di Pos Cigowong hanya ngemil roti. Selang beberapa lama, kami melanjutkan perjalanan dan karena di Pos 4 yaitu Arban sudah magrib, akhirnya kami kebagian camp di Pos 5 Tanjakan Asoy.
Camp di Pos Tanjakan Asoy
Ketika di Pos 3 kami sudah mendapat peringatan dari Ranger pasti camp di Pos 5. Ternyata betul Sahabat Senja di Pos 6 Pasanggrahan yang niatnya akan menjadi tempat Camp, sudah penuh. Seperti yang sudah aku sebutkan di atas, banyak pendaki yang naik. Tidak apa-apa walau summit dari Tanjakan Asoy harus dilakukan pukul 01.00.
Btw, saat kami tiba di Pos Tanjakan Asoy sudah berdiri beberapa tenda. Kami pun segera mendirikan tenda untuk beristirahat dan menyiapkan makan malam.
Semakin malam dinginnya gunung Ciremai memeluk rasa letih yang tidak tertahankan. Rasa kantuk pun perlahan menyapa, terlebih menuju summit tinggal hitungan jam. Jika camp dari Pos Pasanggarahan kami bisa summit pukul 03.00.
Summit yang Tidak Sesuai Rencana
Sepanjang malam, gerimis turun lalu berhenti. Terus seperti itu hingga akhirnya aku terbangun karena teman-teman lain sudah pada bangun untuk summit. Akan tetapi, karena gerimis yang kembali menyapa dan kabut yang tebal kami memutuskan untuk summit pagi setelah matahari muncul.
Resikonya adalah tidak dapat menikmati matahari terbit. Ya, mau gimana lagi tidak masalah. Toh, belum tentu kami dapat menikmati sunrise mengingat kabut tebal yang menyelimuti area gunung.
Menunggu mentari kembali menggantikan sang malam, kami habiskan waktu pagi dengan mengobrol ngarol-ngidul. Apa saja menjadi topik pembicaraan yang seakan tidak ada habisnya. Hingga kabut perlahan menghilang, kami memutuskan summit.
Tanjakan Putus Asa
Sahabat Senja, track menuju puncak Ciremai itu benar-benar menguras tenaga. Dari Tanjakan Asoy track menanjak semakin banyak, terlebih setelah melewati Pos 7, nafas semakin berat. Bagi aku jalur dari Pos 7 menuju puncak adalah jalur putus asa.
Di mana track bebatuan dengan tanah yang kering membuat beban kaki semakin berat. Tidak boleh kehilangan fokus dan harus selalu waspada karena jika terpeleset atau terjatuh nyawa bisa menjadi taruhannya.
Terutama dari Pos Apuy – pos pertemuan jalur pendakian via Palutungan dan via Apuy ini aku selalau merasakan sensasi yang sama. Antara ingin menyerah, namun menuju puncak sudah di depan mata. Kesabaran dan keyakinan benar-benar diuji.
Walau begitu apa pun pilihannya, bukankah sama-sama merasakan lelah? Selama kaki masih mampu melangkah dan tenaga masih kuat maka keyakinan menuju puncak akan tercapai. Selain itu, pemandangan di sini luar biasa indahnya.
Sang Penyelamat
Sahabat Senja, selama summit stok minuman yang kami bawa benar-benar terbatas. Hal ini karena ada botol yang tidak terbawa. Alhasil untuk mengobati tenggorokan yang kering kami makan buah Arbey. Rasanya itu asam-manis dan lumayan untuk menghilangkan dahaga.
Sayangnya buah arbey sangat terbatas dan tumbuh di tepi jurang sehingga kami tidak bisa leluasa juga untuk memetik buah dengan warna orange ini. Lalu, kami coba makan kopi sachet tanpa diseduh dan hasilnya malah memperburuk keadaan. Tenggorokan malah semakin kering. Tsah.
Beruntunglah ada sang penyelamat lain yaitu ada pendaki yang memberikan minumannya, konon mereka masih ada stok. Selain itu, kami juga ngemil jahe sachet dan ini lebih baik daripada kopi. Rasa pedas jahe membuat tenggorokan menjadi segar dan entah kenapa tenaga seakan terisi walau tidak 100%.
Puncak Ciremai dan Bersahabat dengan Kabut
Pendakian ketiga ini memang penuh dengan kenangan dan kisah yang tidak terduga. Summit yang kesiangan, bekal minum yang tertinggal untuk perjalanan summit, dan puncak yang diselimuti kabut.
Setelah perjuangan melawan rasa putus asa, puncak tertinggi di Jawab akhirnya dapat aku pijak lagi. Dingin langsung menyekap dengan kuat ketika tiba di atas dan angin perlahan bertiup kencang. Mungkin hanya 5 menit kami berada di puncak.
Setelah foto-foto dengan background kabut, kami segera turun lagi.
Cuaca buruk dengan kabut tebal bukanlah sesuatu yang dapat kami lawan. Sebentar atau lama setidaknya perjalanan mendaki gunung ciremai berjalan lancar hingga mencapai puncak.
Ini adalah pengingat untuk tidak berhenti berjuang. Apa pun hasilnya di depan sana, proseslah yang terpentinng. Jatuh dan bangkit, selalu seperti itu. Karena, setiap langkah dan perjalanan hidup kita memang tidak mudah.
Diantara kesulitan tersebut selalu ada tangan yang dengan ikhlas mengulurkan bantuannya dan Tuhan tidak pernah meninggalkan kita.
_________________
Jejak:
Kota Industri, September yang penuh makna.
Wah jadi kangen kampung halaman saya di Kuningan. Saya aja belum pernah sama sekali mendaki gunung Ciremai, karena memang bukan passion saya juga sih. Cuma baca postingan ini kayak lagi bernostalgia dengan kampung halaman.
Abang saya yang dulu banget udah pernah mendaki ke puncaknya. Saat itu kalo lagi tujuhbelasan, biasanya ramai pendakian.
Mendaki mah paling enak musim panas kali ya, biar nggak licin saat hujan atau kedinginan, hehehe…
Betul, Mas.
Kalau agustusan memang ramai.
Aku juga pendakian pertama ke sana pas acara agustusan.
Asyiknya memang musim kemarau biar gak ada kabut di puncaknya.
Wahh mba erin ternyata nak gunung <3 kereen. Mau ikutan juga lho akuu hihi.. tapi daridulu cuma sebatas pengen aja ngga pernah terealisasi jadi malu sendiri kan wkwkwk
Saya memang lahir di gunung Mba. Hahaa….
Awalnya aku juga takut, tapi setelah dicoba satu kali jadi ketagihan.
Serunya saja dengan perjalanan yang melelahkan, tapi merasa bahagia.
Serasa ikutan mendaki gunung Ciremei membaca tulisan ini. Untung ada penyelamat yg menawarkan air minum ya. Pendakian yg sangat berkesan.
Saya jadi penikmat cerita perjalanan yg mendaki ke gunung aja. Secara kemaren main ke curug yg tracknya biasa, lutut rasanya pegel banget.
Sama kok Mba, pulang dari gunung kaki sakit pegal banget sampai naik-turun tangga di rumah kewalahan.
Wah, asyiknya ke gunung bareng-bareng. Aku terakhir ke Bromo kmrn sebelum pandemi. Jadi rindu mendaki nih
Hebat ih setelah 6 tahun ngga muncak tapi ternyata masih punya stamina buat muncak lagi. Kebayang gimana rasa rindu yang terobati dan semua lelah yang hilang setelah menjejakkan kaki di 3078 mdpl. Saya jadi inget juga tahunan silam k ranu kumbolo dan bahagianya bisa membaui tanah yang basah dan letihnya perjalanan menjadi ngga berasa setelah sampai.
Aku belum pernah ke Ranu Kumbolo. Sudah masuk wishist si. Semoga bisa terwujud setelah Pandemi usai. Lebih tepatnya setelah punya banyak waktu untuk bebas naik gunung kapan saja.
Astiknya bisa mendaki, aku belum pernah karena keluarga emang gg pernah ngizinin. Ini di puncak kenapa cuma 5 menit, padahal naiknya butuh perjuangan.
Sama kok, Mba keluarga gak ada yang ngizinin. Tapi, akunya saja yang bandel. Hehe
Seru membacanya. Iya, membacanya aja. Menjalaninya sendiri sih hm … kayaknya nggak sanggup, apalagi dulu memang nggak pernah naik gunung. Cuma pernah ke Gunung Agung … toko buku. Hehe….
Ya, ampun Mba. Aku langsung teringat Toko Buku Gunung Agung. Waktu kuliah sering ke sana soalnya.
Menghempaskan si mager, kan banyak manfaatnya terlebih pas sampai di puncak Ciremai, langsung bahagia banget ya kak..
Betul. Kalau di Kota aku mager ke mana-mana, tapi kalau sudah naik gunung langsung semangat.
Seru banget nih Mbak. Mantap aktivitasnya di masa pandemi gini. Aku belum berani aktivitas berat seperti ini.
Semangaaattt sehat selalu ya Mbak.
Ini pendakian yang tidak pernah direncakan, tapi bisa turun lagi dengan selamat. Walau di masa Pandemi, semua teman-teman yang naik bersama selamat dari segala bahaya termasuk virus Corona.
Aku belum pernah mendaki gunung. Tapi belakangan suka banget nonton youtube tentang perjalanan pendaki ke berbagai gunung yang ada di Indonesia. Lalu mupeng pingin banget. Tapi sayang, aku belum punya cukup ilmu untuk pendakian. hihi.
Gak perlu ilmu kok, Mba. Jalani aja dulu, Duh, maaf korban iklan. Plakk
wahh senangnya bisa mendaki gunung ceremai
menikmati keindahan alam dan menghirup udara segar bisa melepas penat sejenak ya mbak
Betul. Senang banget bisa kembali berbaur dengan alam.
Aku selalu salut sih sama pendaki gunung.. Aku sendiri belum pernah coba dan pasti nggak akan bisa (wkwkw pesimis memang orangnya) karena pasti medan jalannya nggak mudah. Padahal, semua akan terbayar dengan pemandangan yang indah, ya..
Aku belum pernah naik gunung Ciremai (baru Salak dan Gede) tapi sering denger cerita temen-temen yang udah pernah ke sana
Emang katanya tanjakannya asoyyyy banget, sampai ada yang ga mau lagi ke sana, hahaha
Tapi emang sih, pas udah nyampe puncak itu lelah serasa hilang (walaupun langsung jiper inget masih harus turun ke bawah lagi)
Banyak sekali pengalaman dan pembelajaran yang bisa diambil ketika mendaki sebuah gunung dan dekat dengan alam. Seolah berkomunikasi, kita akan memiliki kekayaan tersendiri.
Pantas sekali, kak…merindukan kembali mendaki gunung.
Selamat yaa, kak..atas proses yang dijalani.
Rindu kisah pendakian berikutnya.
Terimakasih untuk sharing mengenai pendakiannya, mendaki merupakan salah satu aktivitas yang ingin kulakukan tapi blm jadi² 😂
Big applause deh buat para pendaki. Aku selama ini cuma pernah camping aja belum pernah sampai ke puncak gunung, Btw, berarti udah aman ya mendaki gunung sekarang? Waah asyik, aku juga mau camping ma anak-anak ah.
Selalu salut dengan mbak -mbak atau wanita yg kuat naik gunung. Soalnya saya orang yang tipe nya mudah capek kalau jalan. Kalau menikmati pegunungan saya sukaaa banget . Sayang gak kuat naiknya ..hehehe
Baca tentang summit yang tak sesuai rencana, saya jadi ingat dua pendakian masa muda dulu yang punya nasib sama, Yang satu harus puas muncak tanpa melihat sunrise tapi cukup mudah, dan memang karena alasan yang bisa bikin kita banyak ngbrol tuk menanti terang. Pendakian yang satunya lagi adalah saat kepayahan (yang amat sangat) saat memaksakan diri untuk sampai ppuncak. Sampai sekarang saya masih heran kok ternyata berhasil.
pengen sekali daki gunung yang ada diluar prov sumut, semoga aja bisa kesampaian